Oleh : Dr. Weldy Jevis Saleh, SH., MH ( Praktisi & Akademisi)
BOGOR- Dalam perjalanan masa orde baru dan setelah masa reformasi penyusunan kontruksi hukum yang lahir dari sebuah lembaga eksektif (pemerintah), lembaga yudikatif (peradilan/penegak hukum) serta lembaga legislatif (dewan perwakilan rakyat DPR RI) sangat kental dengan politik hukum. Bahkan dalam proses penyusunan undang-undang yang terjadi di legislatif dan eksekutif menjadi rahasia umum dalam bernegara kedua lembaga tersebut berkaitan erat dengan perancangan undang-undang, sehingga seringkali ditemukan undang-undang dibuat untuk kepentingan golongan dan partai. Namun hal ini perlu dikaji lebih jauh terkait dengan lembaga yudikatif yang merupakan slah satu lembaga menjadi tolak ukur demokrasi sekarang justru menjadi anomaly, yaitu terkontaminasinya lembaga peradilan tersebut terhadap kepentingan politik.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, serta memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga berkewajiban memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi (MK) memegang peran penting dalam menjaga tegaknya konstitusi, melindungi hak-hak dasar warga negara, serta menjaga keseimbangan kekuasaan antar lembaga negara di Indonesia. MK berfungsi sebagai "the guardian of the constitution, " memastikan bahwa semua undang-undang dan tindakan pemerintah sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. MK dapat membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, sehingga menjaga agar peraturan perundang-undangan di Indonesia tetap konstitusional. MK juga memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak dasar warga negara melalui pengujian undang-undang terhadap konstitusi. Jika terdapat undang-undang yang dianggap melanggar hak asasi manusia, MK dapat membatalkannya, sehingga berperan penting dalam melindungi hak-hak sipil dan politik masyarakat.
Selain itu, MK berperan dalam menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara. Hal ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada lembaga yang menyalahgunakan kekuasaan atau melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh konstitusi, sehingga menjaga keseimbangan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan. Dalam perselisihan hasil pemilihan umum, MK berperan sebagai pengawal demokrasi. MK memastikan bahwa proses pemilu berjalan dengan jujur, adil, dan sesuai dengan hukum, sehingga hasil pemilu benar-benar mencerminkan kehendak rakyat. Bahkan dalam situasi krisis atau ketidakpastian konstitusional, MK dapat bertindak sebagai penengah yang menentukan arah kebijakan dan penegakan hukum yang sesuai dengan konstitusi. Contoh peran ini adalah ketika MK memutuskan tentang keabsahan pemilihan umum atau masalah-masalah politik yang sensitif. Putusan-putusan MK memberikan kepastian hukum di Indonesia. Dengan menafsirkan dan menegakkan konstitusi, MK memastikan bahwa hukum dijalankan secara konsisten dan adil, serta memberikan kejelasan dalam penyelesaian berbagai sengketa hukum. MK juga berperan dalam pendidikan hukum dan konstitusi bagi masyarakat luas.
Putusan-putusan MK sering kali menjadi referensi dalam perkembangan hukum dan menjadi acuan bagi akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat umum. Salah satu contoh peran penting MK adalah dalam pengujian undang-undang terkait pemilu, di mana MK berperan dalam memastikan proses pemilu berjalan dengan adil dan demokratis. MK juga telah membatalkan beberapa undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, seperti dalam kasus undang-undang terkait dengan kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Secara keseluruhan, Mahkamah Konstitusi memainkan peran yang krusial dalam menjaga integritas konstitusi, melindungi hak-hak warga negara, serta memastikan pemerintahan yang demokratis dan adil di Indonesia.
Baca juga:
Anies Baswedan di Mata Seorang Surya Tjandra
|
Putusan Mahkamah Konstitusi.
Merujuk pada suatu putusan dari Mahkamah Konstitusi yang tertera pada perkara Nomor :60/PUU-XXII/2024, bagian dari permohonan atau gugatan yang berisi permintaan yang diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam konteks ini, ada permintaan atau tuntutan yang diajukan dalam permohonan tersebut namun permintaan yang telah disampaikan dalam permohonan tersebut, meskipun diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, ternyata tidak dimasukkan ke dalam bagian petitum atau bagian putusan dari Mahkamah Konstitusi.
Melihat kedudukan MK yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang seharusnya adil dan berlandaskan konstitusi, tidak menempatkan atau tidak mengakomodasi petitum atau tuntutan yang diajukan oleh pemohon dalam putusannya.
Maka Mahkamah Konstitusi nomor 60/PUU-XXII/2024), tuntutan yang diajukan oleh pemohon dalam permohonan tidak diakomodasi sepenuhnya dalam putusan.
Penulis merasa bahwa hal ini tidak adil, mengingat Mahkamah Konstitusi seharusnya bertindak adil dan konsisten dengan permohonan yang diajukan. Dalam putusan mahkamah konstitusi nomor:60/PUU-XXII/2024, dalam petitum atas permohonan putusan mahkamah konstitusi telah disampaikan dalam permohonan tersebut yang di putuskan dalam putusan, justru tidak di masukan dalam potitum dalam permohonan gugatan pemohon tentunya di lazim sebagai Lembaga yang konstitusi harusnya adil dalam mengambil sikap kita bisa lihat dalam putusan tersebut dalam potitum pemoho/pengugat:
Berdasarkan seluruh uraian-uraian sebagaimana disebutkan di atas, PARA PEMOHON memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk berkenan memutuskan: Dalam Provisi: 1. Mengabulkan permohonan Provisi PARA PEMOHON untuk seluruhnya. Menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika hasil bagi jumlah akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan menghasilkan angka pecahan, maka dihitung dengan pembulatan ke atas”; dalam potitum sedangkan dalam putusan mahkamah konstitusi putusan tersebut yang di kabulkan bukanlan permohonan dakan potitum pemohon/pengugat.
Mengadili menyatakan mengabulkan permohonan untuk sebgaian Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. 2. Menyatakan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangNomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai.
Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut: Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut.
Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8, 5% (delapan setengah persen) di provinsi tersebut Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: “partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut: Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur.
provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut; kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8, 5% (delapan setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7, 5% (tujuh setengah persen) di kabupaten/kota tersebut, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6, 5% (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
Menyatakan Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Ultra pettita putusan mahkamah konstitusi (putusan yang tidak diminta dalam potitum pemohon)
Ultra petita merupakan istilah hukum yang berasal dari bahasa Latin yang secara harfiah berarti "melebihi apa yang diminta". Dalam konteks hukum, khususnya dalam putusan pengadilan, ultra petita mengacu pada situasi di mana pengadilan memberikan putusan yang melebihi apa yang diminta oleh para pihak dalam petitum mereka. Dengan kata lain, pengadilan memutuskan sesuatu yang tidak secara eksplisit diminta oleh pihak penggugat atau pemohon dalam permohonan mereka.
Dalam konteks Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia, ultra petita terjadi ketika MK memutuskan sesuatu yang tidak diminta secara langsung oleh pemohon, namun masih berada dalam kerangka yang relevan dengan perkara yang diajukan. Misalnya, jika pemohon hanya meminta pengujian terhadap satu pasal dalam suatu undang-undang, namun MK memutuskan untuk menguji dan membatalkan beberapa pasal lainnya yang terkait, hal ini bisa dianggap sebagai ultra petita.
Mahkamah Konstitusi di Indonesia, dalam beberapa kasus, memang pernah mengambil langkah ultra petita. Ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa untuk menjaga konstitusionalitas dan keadilan yang lebih luas, pengadilan perlu melampaui batasan yang diminta oleh pemohon. Namun, tindakan ini tetap harus didasarkan pada alasan hukum yang kuat dan berkaitan erat dengan pokok perkara yang diajukan. Misalnya, dalam suatu perkara pengujian undang-undang, pemohon hanya meminta pengujian terhadap satu atau beberapa pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Namun, jika MK menemukan bahwa pasal-pasal lain yang terkait juga berpotensi melanggar konstitusi, MK mungkin akan memutuskan untuk membatalkan atau merevisi pasal-pasal tersebut juga, meskipun tidak diminta oleh pemohon. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga keselarasan undang-undang dengan konstitusi secara keseluruhan.
Penerapan ultra petita sering kali menjadi subjek perdebatan. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa hal ini penting untuk menjaga keadilan dan konsistensi hukum. Di sisi lain, ada yang mengkritik bahwa tindakan ini dapat melampaui batas kewenangan pengadilan dan bisa dianggap sebagai intervensi yang berlebihan terhadap peraturan perundang-undangan. Secara keseluruhan, ultra petita merupakan salah satu konsep penting dalam putusan pengadilan yang menunjukkan fleksibilitas pengadilan dalam memastikan keadilan dan kesesuaian hukum, meskipun kadang-kadang bisa menimbulkan kontroversi.
Namun hal ini akan dikaji oleh penulis terkait dengan putusan:006/PUU-IV/2006, dalam putusan tersebut adanya permintaan dari pemohon yang mengajukan permohonan ke MK yaitu dengan tujuan menguji materil undang-undang dalam permohonan mahkamah konstitusi dalam undang-undang nomor 27 tahun 2004 tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Pemohon meminta dalam potitum dalam pasal 9 ayat (1), Pasal 27 dan Pasal 44 dalam putusan nomor:006/PUU-IV/2006, hanya mengabulkan satu permohonan dari tiga pasal yang disampaikan dalam potitum yang di ajukan dalam permohonan yaitu pasal 27 undang-undang 27 tahun 2004, akan tetapi dalam putusan tersebut mahkamah konstitusi menyatakan seluruh ketentuan undang-undang tidak berlaku berdasarkan pertimbangan bahwa dengan di batalkan pasal 27 undang-undang tersebut maka secara oprasional undang-undnag tersebut tidak dapat di jalankan.
Kewengan Lembaga negara sesuai undang-undang yang berlaku di republic Indonesia.
Lembaga Legislatif
Legislatif di Indonesia merujuk pada lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang. Di tingkat nasional, lembaga legislatif ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kewenangan, tugas, dan fungsi legislatif diatur dalam berbagai ketentuan hukum, terutama dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Kewenangan Legislatif.
Membentuk Undang-Undang, Pasal 20 UUD tahun 1945 mengatur kewenangan DPR dalam pembentukan undang-undang, sedangkan kewenangan DPD diatur dalam Pasal 22D UUD 1945.
Menyetujui Anggaran Negara, DPR memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan oleh Presiden, berdasarkan Pasal 23 UUD 1945 yang mengatur tentang kewenangan DPR dalam hal persetujuan anggaran.
Melakukan Pengawasan terhadap Pemerintah, DPR memiliki kewenangan untuk mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden dan jajarannya. Pengawasan ini termasuk kebijakan pemerintah, pelaksanaan undang-undang, serta kebijakan anggaran berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 yaitu memberikan kewenangan kepada DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan.
Mengadakan Hak-Hak Khusus, DPR memiliki hak-hak tertentu, seperti hak interpelasi (meminta keterangan kepada pemerintah), hak angket (melakukan penyelidikan), dan hak menyatakan pendapat berdasarkan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 mengatur hak-hak ini.
Tugas Legislatif.
Membahas dan Menetapkan Undang-Undang, Tugas utama DPR adalah membahas dan menetapkan undang-undang. DPR bekerja sama dengan Presiden dalam proses legislasi ini. Berdasarkan Pasal 20 UUD 1945.
Membahas dan Menyetujui APBN, DPR bertugas untuk membahas dan menyetujui APBN yang diajukan oleh Presiden. Sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 23 UUD 1945.
Mengawasi Pelaksanaan Undang-Undang dan Kebijakan Pemerintah, DPR bertugas mengawasi pelaksanaan undang-undang dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, termasuk pelaksanaan APBN. Berdasarkan Pasal 20A UUD 1945.
Fungsi Legislatif.
Berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 22A UUD 1945, fungsi utama DPR adalah fungsi legislasi, yaitu membuat undang-undang. Ini merupakan peran fundamental dari lembaga legislatif.
DPR memiliki fungsi anggaran, yaitu menyetujui atau menolak APBN yang diajukan oleh Presiden. Ini memastikan bahwa pengeluaran negara sesuai dengan prioritas yang telah ditentukan, berdasarkaan Pasal 23 UUD 1945.
DPR melaksanakan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, termasuk pelaksanaan kebijakan dan penggunaan anggaran. Berdasarkan Pasal 20A UUD 1945.
Lembaga legislatif di Indonesia, terutama DPR dan DPD, memiliki kewenangan yang luas dalam pembuatan undang-undang, pengawasan pemerintah, dan persetujuan anggaran negara. Ketentuan-ketentuan ini diatur secara rinci dalam UUD 1945, yang menjadi dasar bagi DPR dan DPD dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Lembaga legislatif.
Lembaga Eksekutif di Indonesia, yang dipimpin oleh Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) serta berbagai undang-undang lainnya. Presiden memiliki kewenangan untuk menjalankan pemerintahan negara sesuai dengan UUD 1945. Ini mencakup pengambilan kebijakan dan pelaksanaan program-program pemerintah, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Presiden juga berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang membantunya dalam menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UUD 1945. Presiden juga bertanggung jawab untuk menyusun dan mengajukan rancangan APBN kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibahas dan disetujui sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945.
Tugas eksekutif yang paling utama yaitu menjalankan Undang-Undang, sehingga tugas utama Presiden adalah menjalankan undang-undang yang telah disahkan oleh legislatif. Presiden harus memastikan bahwa hukum ditegakkan di seluruh wilayah negara sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.
Presiden juga bertanggung jawab atas penyusunan dan pelaksanaan kebijakan nasional, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, maupun keamanan sebagaimana yang diamanahkan oleh Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Presiden memimpin kabinet (para menteri) dan seluruh jajaran pemerintahan dalam rangka mencapai tujuan nasional yang diatur dalam Pasal 17 UUD 1945. Lembaga eksekutif di Indonesia, yang dipimpin oleh Presiden, memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi yang luas dalam menjalankan pemerintahan negara. Semua kewenangan, tugas, dan fungsi ini diatur secara rinci dalam UUD 1945 dan berbagai undang-undang lainnya, dengan tujuan untuk memastikan bahwa pemerintahan berjalan secara efektif, adil, dan sesuai dengan hukum.
Lembaga yudikatif.
Lembaga Yudikatif di Indonesia adalah cabang kekuasaan negara yang bertanggung jawab atas penegakan hukum dan keadilan. Lembaga ini berfungsi sebagai pengadilan dan terdiri dari Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), serta berbagai peradilan di bawahnya seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan peradilan khusus.
Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga yudikatif tertinggi di Indonesia yang berperan dalam menegakkan hukum dan keadilan. MA memiliki tugas dan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan berbagai undang-undang lainnya. Tugas utama MA adalah menegakkan hukum dan keadilan dengan memeriksa dan memutus perkara pidana, perdata, tata usaha negara, dan agama di tingkat kasasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Selain itu MA juga memberikan nasihat hukum kepada lembaga negara tertentu, termasuk Presiden, dalam hal terkait dengan pelaksanaan hukum. MA juga bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perilaku hakim dan pelaksanaan peradilan di seluruh pengadilan di bawahnya.
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, mengadili sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan tugas utama MK adalah mengawal dan menjaga agar segala peraturan perundang-undangan tetap sesuai dengan UUD 1945, sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. MK juga bertugas menyelesaikan sengketa yang terjadi antara lembaga-lembaga negara mengenai kewenangan yang diatur oleh UUD 1945. Serta MK untuk memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum yang dapat mempengaruhi hasil akhir pemilu.
Lembaga yudikatif di Indonesia, yang meliputi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, memiliki kewenangan, tugas, dan fungsi yang krusial dalam menegakkan hukum dan menjaga keadilan sesuai dengan UUD 1945. Mahkamah Agung berfungsi sebagai pengadilan tertinggi dalam hal penegakan hukum, sementara Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penjaga konstitusi yang memastikan bahwa semua tindakan dan peraturan pemerintah sesuai dengan UUD 1945.***